
Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia belum secara utuh mengakomodasi isu terkait pemagangan atau pelatihan di luar negeri.
“Ada beberapa hal yang belum terakomodasi secara utuh di dalam revisi Undang-undang berdasarkan usulan daftar inventarisasi masalah yang sudah disampaikan oleh pemerintah,” kata Kepala Biro Hukum KP2MI Wahyudi Putra dalam Diskusi Publik RUU PMI yang diselenggarakan PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat.
Wahyudi mengatakan bahwa Kementerian P2MI pada dasarnya mengapresiasi revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 tersebut.
Revisi tersebut, menurut dia, merupakan salah satu momentum untuk memperkuat kelembagaan dalam periode pemerintahan saat ini.
Meski demikian, Wahyudi menilai beberapa hal yang menjadi polemik dan menjadi permasalahan dalam proses penempatan pekerja migran Indonesia selama ini masih belum terakomodasi secara utuh di dalam RUU tersebut, khususnya terkait proses pemagangan atau pelatihan di luar negeri.
“Itu belum bisa kita atur secara utuh di dalam revisi undang-undang tersebut,” katanya.
Menurut dia, hal itu terjadi karena memang masih ada irisan regulasi antara Undang-undang Ketenagakerjaan dengan Undang-undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Terkait pemagangan itu sendiri, Wahyudi mengatakan bahwa program tersebut pada dasarnya melemahkan hak para peserta dan berpotensi menciptakan tenaga kerja dengan upah murah.
“Jadi, dengan pemagangan itu berarti penghasilan yang akan dikirimkan dari peserta itu tidak sebanding dengan pekerja-pekerja yang memang bekerja di sektor formal itu,” katanya.
Lebih lanjut, Wahyudi juga menyoroti mekanisme atau kewenangan yang belum sepenuhnya dimiliki oleh KP2MI, khususnya terkait proses pembinaan dari lembaga vokasi.
“Karena memang titik awal dari penempatan pekerja Indonesia itu adalah bagaimana kemudian peningkatan kompetensi dan kualitas dari calon pekerja migran tadi sehingga nantinya diharapkan bahwa dengan adanya pengelolaan dari lembaga vokasi ini akan meningkatkan kualitas-kualitas dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja di luar negeri,” katanya.
Lalu, bahasan lain yang dia soroti juga terkait pembinaan lembaga pelatihan kerja, dan upaya untuk melakukan inventarisasi secara utuh terkait nilai remitansi yang masuk ke dalam negeri dari para pekerja migran Indonesia.
“Ini untuk bisa menentukan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh pekerja migran Indonesia berdasarkan remintansi yang nantinya ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ini agar bisa didata dan dikalkulasi dengan sebaik baiknya,” demikian katanya.