Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengatakan praktik nilai ekonomi karbon terus didorong untuk mendukung pendanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tanah air, termasuk proyek pengurangan emisi.
“Memang benar, upaya misalnya mitigasi itu butuh pendanaan. Yang kemudian sebenarnya pendanaan itu wajar, yang seringkali terjadi itu proyek-proyek seperti ini tidak bankable. Misalnya kalau untuk economic feasibility itu tidak feasible,” jelas Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Ary Sudijanto di Jakarta, Jumat.
Langkah itu sudah dilakukan dengan rencana membawa 14 proyek pengurangan emisi karbon yang sudah berjalan di tanah air ke Konferensi Perubahan Iklim Ke-30 (COP30) di Brasil yang akan berlangsung pada November 2025.
Beberapa proyek pengurangan emisi itu termasuk geothermal, pengolahan biogas dari pengelolaan limbah, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), serta proyek penangkapan gas metana.
KLH sendiri tengah memfasilitasi ke-14 proyek pengurangan emisi tersebut, yang sebelumnya berada di Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM), untuk melakukan transisi ke mekanisme dan ketentuan di bawah Pasal 6.4 Perjanjian Paris.
Dengan pendanaan lewat implementasi nilai ekonomi karbon diharapkan maka akan dapat mendukung kemajuan sejumlah proyek pengurangan emisi yang lain.
“Karena sepanjang ini kan orang sering parno, mengkhawatirkan kalau upaya perubahan iklim membebani perusahaan. Tidak, buktinya ini bisa,” jelas Ary.
Pemerintah sebelumnya menyatakan akan menggali potensi perdagangan karbon di COP30, dengan beberapa negara sudah memperlihatkan ketertarikan untuk membeli karbon Indonesia.
Rencananya di Paviliun Indonesia akan disediakan kesempatan untuk memaparkan potensi perdagangan karbon di tanah air seperti karbon hayati (nature based) dari sektor kehutanan dan kelautan serta yang berasal dari sektor lain termasuk energi.