
Forum Great Lecture di Jakarta pada Kamis (11/9) menjadi panggung baru bagi Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru beberapa hari lalu dilantik Presiden Prabowo.
Kehadirannya langsung memancing perhatian. Bukan semata karena ia menggantikan Sri Mulyani yang sudah membangun reputasi internasional, melainkan karena Purbaya tampil dengan keyakinan bahwa Indonesia bisa tumbuh delapan persen.
Angka yang menggoda, sekaligus memicu rasa ingin tahu seperti apakah resep yang ia tawarkan untuk mendorong ekonomi Indonesia kian menjulang.
Bangsa ini sudah lama tahu bahwa pertumbuhan ekonomi bukan hanya soal angka di atas kertas. Rakyat butuh pemerataan, butuh keadilan dalam pembagian kue pembangunan.
Optimisme Purbaya menarik, tapi publik bertanya, apakah target delapan persen itu benar-benar akan dirasakan petani, nelayan, buruh pabrik, dan UMKM, atau hanya jadi pesta segelintir korporasi?
Purbaya punya keunggulan sebagai teknokrat. Ia paham betul soal likuiditas. Ia tahu, mesin ekonomi akan mandek bila kredit macet, bila perbankan menahan uangnya.
Resepnya jelas, injeksi fiskal untuk mengisi ruang likuiditas. Pernah berhasil di masa pandemi, ketika uang yang dilemparkan pemerintah ke sistem perbankan mendorong ekonomi bangkit. Dari pengalaman ini, Purbaya bisa dibilang tidak sekadar bicara teori, tapi setidaknya pernah mengeksekusi.
Namun, ekonomi Indonesia jauh lebih pelik daripada sekadar menyalakan mesin uang. Bangsa ini sudah berkali-kali belajar, likuiditas tanpa disiplin arah hanya melahirkan gelembung konsumsi dan spekulasi aset.
Rakyat kecil tak merasakan apa-apa selain harga pangan yang melonjak. Pertumbuhan yang sejati adalah pertumbuhan yang inklusif.