Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles 1% pada akhir perdagangan Senin (6/1/2025), setelah selama dua hari beruntun bergairah di mana investor tampaknya wait and see menanti sentimen pasar global.
IHSG ditutup ambles 1,17% ke posisi 7.080,47. IHSG terkoreksi ke level psikologis 7.000, setelah dua hari beruntun bertahan di level psikologis 7.100.
Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitar Rp 8 triliun dengan melibatkan 22 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 221 saham naik, 388 saham turun, dan 190 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor bahan baku menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 1,65%. Selain itu, sektor keuangan juga menjadi salah satu penekan IHSG yakni sebesar 1,13%.
Sementara dari sisi saham, emiten perbankan raksasa mendominasi penekan IHSG, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang mencapai 13,4 indeks poin, kemudian PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar 11,5 indeks poin, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) sebesar 5,8 indeks poin.
Selain itu, adapula emiten konglomerasi Prajogo Pangestu PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) yang menjadi penekan terbesar IHSG yakni mencapai 13,8 indeks poin dan emiten telekomunikasi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) sebesar 9,2 indeks poin.
IHSG ambles di tengah wait and see pasar menanti sentimen dari global, terutama terkait dengan Federal Open Market Committee (FOMC) bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) pada Kamis mendatang.
The Fed akan mengadakan pertemuan untuk membahas kemungkinan hasil keputusan suku bunga dan akan diumumkan pada 30 Januari mendatang.
Kemudian sentimen dari Non-Farm Payrolls (NFP) Desember, sehari setelah rilis data ketenagakerjaan AS yang memberikan gambaran kondisi ekonomi AS. Berdasarkan konsensusnya, jumlah lapangan pekerjaan di luar pertanian untuk Desember akan mencatatkan penurunan yang cukup signifikan dibanding bulan sebelumnya.
NFP Desember diperkirakan akan mencatatkan lapangan pekerjaan sekitar 150 ribu dibandingkan November yang sebesar 227 ribu.
Pasar juga masih berharap fenomena January Effect sebagai momentum seasonal bakal terjadi pada awal hingga pertengahan Januari 2025 meski pada hari ini IHSG merana. Fenomena ini memiliki kecenderungan pada harga saham di dua minggu pertama atau sepanjang Januari akan mengalami kenaikan.
Namun, tampaknya probabilitas IHSG menikmati January Effect masih cenderung kecil karena arus dana asing yang masih mencatatkan outflow.
Adapun hal tersebut dapat terjadi karena siklus pergerakan sebuah saham, di mana IHSG sudah bergerak konsisten turun sejak empat bulan terakhir yang secara historikal IHSG cenderung berubah tren dari yang sudah berlangsung selama kurang lebih empat bulan terakhir.