BMKG Warning Bencana Dahsyat 2050, Warga RI Diminta Lakukan Ini

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati saat konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), ITDC Nusa Dua, Kamis (23/5/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati saat konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), ITDC Nusa Dua, Kamis (23/5/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Bumi makin banyak diterpa bencana alam. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan bencana hidrometerorologi yang makin sering dan kuat di Tanah Air dan dunia pada tahun 2050.

Hal tersebut disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. Ia mengatakan era pendidihan global (Global Boiling) akan makin ganas jika tak direm.

“2050 ini waktunya Indonesia Emas. Gen Alpha usianya [sekitar] 40-50 [tahun]. Jika, audzubillahimindzalik, asumsi, skenario terburuk aksi iklim gagal, kita tidak hanya mengalami bencana makin sering, makin panjang, intens, makin kuat, juga kelangkaan air secara global,” kata dalam Festival Aksi Iklim Generasi Muda Indonesia 2024, dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (21/8/2024).

Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan ancaman bencana alam dahsyat pada 2050 bukan sekadar wacana. Prediksi tersebut berasal dari data dan analisis yang dikumpulkan BMKG, bersama dengan Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Menurut dia, bencana besar itu benar-benar akan terjadi jika tak ada aksi penanggulangan. Dwikorita menyorot soal kondisi saat ini dengan banyaknya rekor suhu tercipta.

Sebagai informasi, tahun 2023 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan. Peningkatan anomali suhu bumi saat itu mencapai 1,45 derajat Celsius bila dibandingkan suhu permukaan rata-rata dunia pada masa pra-industri.

“Dunia saat ini telah berada pada era ‘global boiling’, bukan lagi perubahan iklim,” ujarnya. 

Temperatur 1,45 derajat Celcius itu kian dekat dengan ambang batas yang disepakati dunia dalam Perjanjian Iklim Paris (2015), yakni, 1,5 derajat Celcius dibanding masa pra-industri.

Pada 2022, data menunjukkan kenaikan suhu mencapai 1,2 derajat C. Kenaikan suhu semacam itu terbukti meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, baik basah maupun kering.

“Bisa dibayangkan kondisinya yang baru 1,2 [derajat C] sudah sering terjadi bencana dan berbagai persoalan pangan, air, krisis air. Kalau naik 3 kali lipat itu apa yang terjadi? Sangat mengkhawatirkan,” kata Dwikorita.

Salah satu bencana alam yang ia contohkan adalah banjir besar Jakarta 2020. Pada saat itu, curah hujan mencapai 170-an milimeter dalam tempo 24 jam, dengan puncak selama 5 jam.

“Harusnya ini sekian ratus tahun. Namun, belum sekian ratus tahun, [ini] lebih cepat [tercapai],” kata dia.

BMKG menuturkan kondisi yang lebih parah mungkin terjadi di akhir abad 21 jika skenario terburuk kegagalan aksi iklim. Bentuknya, kenaikan suhu hingga 3,5 derajat Celcius dibanding masa pra-industri. Menurut dia, kondisi pendidihan global saat ini sudah tak bisa balik lagi.

“Kalau sudah naik tidak bisa balik, mungkin ada teknologi bisa diturunkan dari 1,45 [derajat C] jadi 1,2 [derajat C]. Tapi, ada teori, [kondisi] itu irreversible, tidak bisa balik lg. Itu kenapa harus ada aksi iklim,” cetusnya.

Manusia Bisa Apa?

Dwikorita menegaskan kondisi pemanasan global ini mesti diatasi oleh manusia di seluruh dunia. Ia menjelaskan aktivitas manusia makin banyak menghasilkan gas-gas rumah kaca.

Hal ini menghambat kembalinya radiasi Matahari ke angkasa, sehingga terakumulasi dan terjebak di dalam atmosfer. Inilah yang menjadi biang kerok pemanasan global, dan lebih parahnya lagi pendidihan global.

BMKG merekomendasikan langkah terdekat yang bisa dilakukan adalah menghindari penggunaan kendaraan dan aktivitas lainnya yang menghasilkan karbon atau gas rumah kaca lainnya.

“Paling mudah ya mengurangi jejak karbon. Jadi kita ini kan pasti naik sepeda motor, naik mobil, sampah juga, kita membuang sampah ternyata itu juga melepas gas rumah kaca, methane, itu gas rumah kaca,” jelasnya.

Ia menekankan soal penggunaan kendaraan umum atau kendaraan listrik (EV). Untuk opsi yang lebih murah memang kendaraan umum karena dipakai bersama-sama, sehingga lebih efisien.

kera4d

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*