Salah satu andalan utama masyarakat Indonesia jika ingin membeli kebutuhan sehari-hari secara eceran adalah Warung Madura. Selain karena beroperasi selama 24 jam, Warung Madura alias toko kelontong juga sering diandalkan karena menjual sembako dengan harga murah dan lengkap, serta mudah ditemukan di sekitar tempat tinggal.
Meskipun tersebar di banyak tempat, ternyata Warung Madura bukanlah “Raja” toko kelontong di dunia. Lantas, apa dan di manakah “Sang Raja” toko kelontong di dunia?
Ternyata, “Raja” toko kelontong di dunia adalah Toko Serba Ada (Toserba) di Korea Selatan. Menurut Asosiasi Industri Toko Serba Ada Korea, pada 2023 lalu terdapat 55.200 toserba yang tersebar di seluruh Negeri Ginseng.
Menariknya, jumlah tersebut ternyata melebihi total cabang McDonald’s di seluruh dunia. Hal ini menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan kepadatan toko kelontong tertinggi per kapita melampaui Jepang dan Taiwan, yang keduanya juga dikenal dengan banyaknya toko kelontong.
“Industri toko serba ada di Korea Selatan menonjol karena kepadatan yang luar biasa dan strategi inovatifnya,” kata Profesor Pariwisata dan Industri Jasa Makanan di Kwangwoon University Seoul, Chang Woo-Cheol, dikutip dari CNN International, Jumat (15/11/2024).
“Mereka menjadi saluran ritel penting, dengan pangsa penjualan ritel offline terbesar kedua di negara ini,” sambungnya.
Ada beberapa hal yang membedakan minimarket dan toserba di Korea Selatan. Toserba menawarkan segala mulai dari makanan dan minuman, perlengkapan rumah tangga, dan layanan gaya hidup.
Bahkan di toko ini pelanggan juga dapat mengisi daya baterai ponsel, membayar tagihan listrik, menarik uang tunai, melakukan pemesanan, menerima pesanan daring, mengisi daya skuter listrik, menukar mata uang asing, hingga mengirim surat internasional.
“Toko serba ada di Korea bukan hanya tempat di mana orang dapat [duduk] mengelilingi meja di antara tumpukan kaleng bir di malam musim panas, tetapi juga menyediakan layanan penting,” kata Deloitte Korea dalam laporan pada 2020.
Laporan itu juga menggambarkan toko-toko di negara Korea Selatan cukup memanjakan pelanggan mereka dengan kenyamanan ekstrim. Toko itu juga menjadi tempat yang tepat bagi pekerja kantoran dan pelajar untuk makan siang dan lainnya.
Dari kenyamanan itu permintaan terhadap toko kelontong ini melonjak seiring dengan urbanisasi yang terjadi di Korea. Chang mengatakan lebih 80 persen penduduk kini tinggal di pusat kota dengan gaya hidup yang serba cepat.
Faktor lainnya adalah demografi. Saat ini semakin sedikit penduduk Korea Selatan yang menikah atau memulai keluarga. Sehingga masyarakat dengan status lajang ini memilih untuk membatasi anggaran belanjanya mengingat juga kesulitan ekonomi yang saat ini tengah dihadapi.
Laporan McKinsey menyatakan pada 2021 lalu sekitar 35 persen dari seluruh rumah tangga di Korea Selatan adalah penduduk lajang. Mereka lebih memilih pilihan yang murah dan mudah di toko swalayan atau memesan secara online ketimbang memasak sendiri.
Ditambah pandemi Covid-19 juga berkontribusi pada tren masyarakat yang lebih memesan barang secara online atau membeli di toko kelontong terdekat. Sehingga perusahaan telah memanfaatkan tingginya permintaan ini dengan membuka toko di lokasi yang strategis seperti dekat karaoke, pusat seni dan lainnya.
Semua ini menghasilkan keuntungan besar. Antara 2010 hingga 2021, pendapatan toko serba ada di Korea melonjak lebih dari empat kali lipat dari US$5,8 miliar menjadi US$24,7 miliar, melampaui supermarket dan department store tradisional, menurut McKinsey, mengutip perusahaan riset pasar Euromonitor yang berbasis di London.
Peminat toko kelontong ini juga semakin dipopulerkan oleh media sosial yang menjadi fenomena global. Banyak orang yang menyebutnya sebagai “Korean Wave”.
Di sosial media, para influencer memamerkan stasiun ramen instan di dalam toko, mengulas makanan ringan dan minuman, atau mengikuti tren daring, seperti hanya mengonsumsi makanan di toko swalayan sepanjang hari. Video-video ini terbukti menjadi strategi kemenangan bagi pembuatnya.