Ilustrasi – Garis polisi dan tempat kejadian. ANTARA/Diasty Surjanto
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Flower Aceh menyatakan mulai menerima aduan mahasiswa melakukan self-harm atau melukai diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi karena tidak kuat menghadapi tekanan kampus maupun keluarga.
“Untuk tahun ini, kasus self-harm yang kami tangani adalah seorang korban yang melukai dirinya sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosional. Ia merasa bahwa rasa sakit fisik dapat mengalihkan rasa sakit emosionalnya,” kata Direktur Flower Aceh, Riswati, di Banda Aceh, Rabu.
Self-harm dapat didefinisikan sebagai tindakan melukai diri sendiri secara sengaja, biasanya tanpa niat untuk mengakhiri hidup. Tindakan ini, sering digunakan oleh seseorang untuk mengatasi atau mengalihkan perhatian dari rasa sakit emosional, tekanan, serta perasaan tidak nyaman yang sulit diungkapkan.
Riswati menjelaskan dalam salah satu kasus yang didampingi, korban merasa tidak mampu menghadapi pertanyaan atau tekanan dari keluarga mengenai masa depannya. Hal ini, membuatnya tertekan hingga melukai diri sendiri untuk meredakan beban emosional.
“Berdasarkan pengakuan korban, tindakan tersebut dilakukan setelah mendapati banyak pertanyaan seperti pertanyaan atau tekanan dari keluarga mengenai masa depannya, ada juga karena belum selesai skripsi karena ada tantangan tertentu dari dosen,” ujarnya.
Flower Aceh mencatat, pada korban pelecehan dan kekerasan seksual, ternyata pelampiasan emosi korban juga dengan melakukan self-harm. Fakta ini, diketahui ketika mendampingi korban konseling.
Sementara itu, Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry sekaligus Psikolog di Psikodista Konsultan, Iyulen Pebry Zuanny, mengungkapkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku self-harm, terutama di kalangan mahasiswa.
Menurutnya, fenomena ini dapat dimulai dari faktor internal meliputi kepribadian, konsep diri negatif, self control yang lemah, spiritualitas rendah, kemampuan pemecahan masalah atau koping tidak tepat.
Kemudian, daya tahan yang rendah terhadap stres atau tekanan, serta adanya riwayat kesehatan mental seperti kecemasan.
Kata dia, faktor eksternal juga berperan signifikan dalam memicu perilaku tersebut. Seperti karena aturan di kampus, masalah keluarga, pola asuh otoriter, masalah ekonomi, perundungan atau kekerasan di kampus, kurangnya sistem pendukung (support system), hingga pengaruh negatif media sosial.
“Bahkan, perilaku meniru atau copycat dari orang lain yang melakukan self-harm turut menjadi pemicu,” katanya.
Iyulen menambahkan, setiap individu yang melakukan self-harm perlu menjalani asesmen lebih lanjut untuk memahami secara mendalam faktor-faktor penyebab perilaku tersebut pada tiap individu.
“Setiap individu memiliki latar belakang dan penyebab yang berbeda. Karena itu, asesmen lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengetahui faktor penyebab perilaku self-harm tersebut secara individual,” ujarnya.
Dirinya juga menekankan, pentingnya berbagai pendekatan untuk mencegah perilaku self-harm, mulai dari pendekatan preventif, promotif, hingga kuratif.
Pada aspek preventif dan promotif, penggiat kesehatan mental perlu memberikan psikoedukasi tentang pentingnya menjaga kesehatan mental serta mengelola emosi dan stres dengan cara yang tepat.
“Dosen dan kampus juga perlu proaktif dalam melakukan observasi terhadap kondisi kesehatan mental mahasiswa. Bahkan, jika memungkinkan, kampus dapat melakukan tes atau screening kesehatan mental secara berkala,” katanya.
Selain itu, dirinya juga menyoroti peran penting orang tua, keluarga, teman, dosen, dan seluruh civitas akademik dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa. Dimulai dari memahami kondisi mahasiswa, memfasilitasi emosi, hingga membantu mereka mengembangkan diri ke arah positif, baik secara mental maupun keterampilan.
“Bagi mahasiswa, penting untuk proaktif meningkatkan potensi diri. Perlu melibatkan diri dalam aktivitas positif, serta melatih keterampilan seperti pemecahan masalah, koping, dan manajemen emosi,” demikian Iyulen.*